Seorang
perempuan murung melintas. Dengan berbusana hitam, ia mengibas-ngibaskan
tangannya. Seolah, hendak membersihkan apa saja yang ada di hadapannya. Entah
kekecewaan, entah kesedihan, mungkin juga keresahan. Seorang lelaki berdiri,
melafalkan sesuatu yang entah. Serupa mantra. Lalu, Gandamayu bermula.
Gandamayu, kuburan yang dipenuhi kecemasan dan bau bangkai menyengat. Di sanalah berdiam Dhurga –Dewi Uma yang dikutuk Siwa setelah gagal dalam uji kesetiaan.
Dikisahkan, Siwa
sedang sakit. Uma (Rachel Saraswati) cemas. Ia tak ingin Siwa mati, tak ingin
hidup sendiri. Atas petunjuk Siwa, Uma turun ke bumi mencari susu dari seekor
sapi putih milik seorang gembala. Di bumi dan di langit, ukuran kesetiaan tak
pernah ada. Siwa yang berpura-pura sakit melesat ke bumi. Uji kesetiaan
dimulai. Menyamar sebagai gembala sapi, Siwa menolak memberikan Uma segelas air
susu dari sapi putih miliknya. Tawaran Uma untuk menukar susu dengan perhiasan
dan uang pun ditolak. Uma yang cemas, akhirnya tak bisa menolak syarat yang
diajukan Siwa.
Di sebuah
bangunan yang hampir roboh, mereka bercinta. Siwa yang murka karena
(menganggap) Uma tak setia mengeluarkan kutukan. Uma, dan 12 tahun hidupnya,
harus menghuni Gandamayu sebagai raksasi bernama Dhurga. Di sanalah, Dhurga
menunggu Sahadewa –sang Sudamala, bersama penghuni abadi Gandamayu bernama
Kalika –perempuan terkutuk yang membunuh 35 orang lelaki dalam sebuah pesta.
Masa penantian
Dhurga akhirnya tiba ketika Bharatayudha, perang saudara Pandawa-Korawa
meletus. Di Gandamayu, Kunti, perempuan murung yang cemas itu memohon Dhurga
untuk memulangkan Kalantaka dan Kalanjana, bidadara kembar yang terkutuk
menjadi raksasa, yang diutus Dhurga berperang di pihak Korawa. Sebab, tak
satupun dari Panca Pandawa yang mampu menandingi mereka. Tidak Arjuna, tidak
juga Bima. Dhurga mengajukan syarat agar Kunti menyerahkan Sahadewa (Theodorus
Christanto), bungsu Panca Pandawa yang lahir dari rahim Madri. Kunti
menolaknya. Ia memilih mati bersama kelima anaknya ketimbang kehilangan salah
satu diantaranya.
Dhurga tak
kehabisan akal. Ia mengutus Kalika untuk merasuki tubuh Kunti, lalu menyeret
Sahadewa ke Gandamayu. Tanpa kesadaran, Kunti membawa Sahadewa ke hadapan
Dhurga. Meminjam tubuh Sahadewa, Siwa meruwat Dhurga kembali berwujud Uma yang
jelita. Sejak itu pula, nama Sudamala melekat dalam diri Sahadewa. Uma lalu
pergi, entah kemana. Meninggalkan Siwa, meninggalkan Kalika, meninggalkan
Gandamayu yang menjelma taman penuh bunga.
Melibas waktu
Berdasarkan
novel Gandamayu karya Putu Fajar Arcana yang kemudian diangkat, diadaptasi, dan
ditafsir ulang ke panggung pertunjukan oleh Teater Garasi-Yogyakarta, penulis
naskah dan sutradara Gunawan Maryanto yang berduet dengan Yudi Ahmad Tajudin,
serta dibantu penata gerak dan tari Danang Pamungkas, nampaknya berusaha
menabrakkan masa lampau dan kekinian, dengan melibas ruang dan waktu. Menarik
dalam pertunjukan ini sebenarnya adalah, munculnya kisah berbingkai, yang juga
digambarkan oleh keberadaan tokoh Ayah sekaligus Semar (Landung Simatupang)
bersama sang anak (Arsita Iswardhani) yang dengan leluasa masuk begitu saja ke
dalam alur pertunjukan. Sesekali mereka menjadi penutur cerita dalam setting
sebuah perjalanan menuju Desa Kaliakah, sesekali menjadi bagian dari alur
kisah. Hasilnya, repertoar tersebut menjadi lebih bebas, menjadi lebih terbuka
bagi siapa saja, sekaligus menghadirkan simbolik yang menyadarkan bahwa kita
sesungguhnya tengah berada dalam Gandamayu: sebuah ruang tunggu, dalam dunia
yang penuh kecemasan, sepi, dan sendiri.
Selain
penampilan aktor yang prima, ragam simbolik yang hadir melekat kuat pada
penggunaan properti pemanggungan. Dinding gedung tua yang nyaris rubuh, jalanan
lapang nan jauh yang menyiratkan kesunyian, batu besar yang dingin, juga
keberadaan ranjang yang digunakan secara bergantian oleh Siwa (Whani Darmawan),
Dhurga (Ine Febriyanti), Kunti (Harbani Setyowati), dan Kalika (Ayu Laksmi,)
lengkap dengan infus dan perawat, berhasil menggambarkan sebuah ruang bagi
tubuh-tubuh yang terluka. Menghadirkan kecemasan, menghadirkan kekecewaan.
Kecemasan, juga
kekecewaan, barangkali sebentuk doa yang terkutuk. Kecemasan dan kekecewaan
inilah yang terasa benar, mendominasi dalam repertoar yang dipentaskan di
Gedung Kesenian Jakarta malam itu, disamping heroisme dan haru biru.
Modern
Meskipun
berangkat dari mitologi, bukan berarti repertoar Gandamayu menonjolkan sisi
tradisi. Yang terjadi adalah, hampir seluruh elemen pemanggungan lebih
menggunakan pendekatan estetika formal. Dalam penggunaan properti hasil kreasi
Ignatius Sugiarto, misalnya. Untuk lebih menghidupkan panggung, busana para
pemain juga dikonsep lebih modern –yang diakui Yudi, terinspirasi dari desain
Viviene Westwood yang unik namun diolah dan diinterprestasikan sesuai kultur Indonesia.
Demikian pula
dengan musik dan lagu-lagu yang ditembangkan oleh Ayu Laksmi dan Arsita
Irswardhani hasil olah cipta Rizky Summerbee dan Yennu Ariendra, terasa sangat
nge-pop. Meskipun di bagian-bagian tertentu, beberapa bait lagu dikidungkan
secara kontemporer oleh Ayu Laksmi.
Dengan
pendekatan seperti ini, pertujukan repertoar Gandamayu –yang dibarengi dengan
peluncuran buku antologi puisi Putu Fajar Arcana, cukup berhasil menjangkau
masyarakat yang lebih luas, bukan hanya bagi mereka yang sudah mengenal
mitologi Sudamala. Pertunjukan ini juga, sekali lagi, telah menumbuhkan
kesadaran bahwa Gandamayu adalah dunia kita, ruang tunggu yang penuh kecemasan,
kesepian, dan kesendirian. Sebelum layar-layar panggung kembali dibuka.
0 komentar:
Posting Komentar