Dalam sejarahnya, gamelan
jegog diciptakan oleh Kiang Geliduh dari Tegal Ngoneng, Jembrana, yang
diperkirakan sekitar tahun 1912. Namun ketika itu, selain menggunakan
bilah-bilah kayu, Kiang Geliduh juga belum menciptakan gending (komposisi).
Akhirnya sekitar tahun 1930-an, Pan Loka dari Desa Kaliakah, Negara, mulai
menciptakan gending jegog dan mengganti bilah kayu dengan bambu. Pada
tahun-tahun itu, wilayah Jembrana sebagian besar masih berupa hutan lebat dan
menjadi daerah “buangan”. Orang-orang buangan dalam konteks ini tidaklah selalu
berkonotasi negatif, tetapi bisa juga diterjemahkan sebagai orang pintar atau
sakti, bahkan melebihi rajanya sendiri sehingga mengasingkan dirinya. Atau
barangkali, mereka adalah orang-orang yang sengaja “membuang” dirinya dengan
berbagai alasan, misalnya kemiskinan.
Kondisi sosio-geografis
seperti inilah yang nampaknya memberi karakter pada jegog. Ia lepas dari ikatan
patron-klien, ratu-panjak (raja-rakyat), sebagaimana yang terjadi di daerah
lain di Bali. Karena itu, jegog memiliki watak egaliter; tidak pelog dan tidak
pula slendro. Ia seolah anak lain dari kultur Bali yang secara stereotip selalu
dianggap memiliki watak adiluhung dan mengandung filosofi tinggi.
Barangkali, jegog lebih dekat
dengan ekspresi rakyat yang pada tataran praktis telah bersentuhan langsung
dengan apa yang disebut multikulturalisme. Ia lahir sebagai pengakuan dan
perayaan terhadap kemerdekaan dari belenggu relasi-relasi struktural yang
seringkali menyertai kesenian-kesenian tradisi di Bali.
Mendiang I Nyoman Lila yang
melakukan revitalisasi jegog awal tahun 1970-an, pernah mengatakan bahwa jegog
merupakan jiwa orang Jembrana. Dengan kata lain, semangat orang Jembrana yang
heterogen tertanam dalam bilah-bilah bambu besar bernama jegog. Ini semakin
menegaskan bahwa jegog telah menjadi produk persilangan kultur yang disertai
dengan kesadaran akan pentingnya menghormati perbedaan. Jegog tak sekedar pola
gaul masyarakat Jembrana, tetapi telah menjadi cerminan kehidupan sehari-hari
yang sesungguhnya.
Jegog Jazz
Bahwa jegog telah berhasil
menjadi semacam identitas masyarakat Jembrana yang plural, memang benar adanya.
Maka komunikasi eksternal sebagai bagian dari strategi pencitraan, harus
dilakukan untuk lebih memperkenalkan musik tradisional tersebut. Kesempatan
pertama datang dari Bentara Budaya Bali yang berkeinginan menampilkan jegog
jazz di dalam acara grand opening (4/11) di tempat yang akan diarahkan menjadi
pusat kebudayaan, sebagai representasi dari kehidupan multikultur masyarakat
secara luas, khususnya di Jembrana.
Seperti telah disinggung di
atas, dari segi musikalitas, jegog merupakan instrumen yang cukup unik. Jika
pada umumnya musik Bali atau musik-musik tradisi menggunakan titi laras pelog
atau selendro, jegog justru berada di antara keduanya. Suara jegog adalah nada
dari alam gaib. Bunyi-bunyi yang dihasilkan merupakan keresahan udara yang
terperangkap di dalam bilah-bilah bambu, yang akhirnya terbebas setelah
mendapat tekanan (dipukul). Barangkali ini juga bisa menjadi cerminan laku
hidup masyarakatnya yang termarginalkan. Ya, mungkin ini bisa dijadikan
gambaran kehidupan sisi Bali yang lain.
Jika dicermati, sesungguhnya
jegog dan jazz saling bertalian. Jegog dan jazz sama-sama memiliki dasar
improvasi sehingga memungkinkan lahirnya senyawa baru diantara keduanya. Dengan
kata lain, jegog dan jazz sama-sama memiliki celah untuk saling mengisi.
Komposer Jegog Jazz, Nanoq da Kansas, menegaskan yang terpenting sekarang
adalah bagaimana menciptakan sebuah dinamika untuk memberi kesempatan
masing-masing agar bisa bermain lebih maksimal. Ini tak lepas dari keinginan
untuk menunjukkan bahwa jegog sebagai kesenian khas Jembrana layak disandingkan
dan disejajarkan dengan genre musik modern (jazz). Dalam garapan ini pula, ada
beberapa nama musisi yang telah berkarya di tingkat nasional dan internasional
yang akan terlibat dalam komposisi ini, seperti Dewa Budjana, Balawan dan Ayu
Laksmi.
0 komentar:
Posting Komentar