Sebuah bangunan, dalam
pengertiannya baik secara harfiah maupun ketika menjadi simbolik, semestinya
mampu menjadi rumah bagi apa saja. Menjadi ruang, menjadi waktu, menjadi apa
pun yang memberi rasa aman serta nyaman bagi apa dan siapa saja yang berdiam di
dalamnya. Lalu bagaimana jadinya ketika bangunan itu tak lagi menjadi rumah?
Batasan pengertian “rezim”
dalam pementasan ini bisa saja adalah serangkaian peraturan, baik formal
(konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial, dll)
yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan
masyarakat. Secara teoretis, “Rezim” dalam pementasan ini tidak mengandung
implikasi apa pun tentang pemerintahan tertentu yang dirujuknya. Sebab, pada
dasarnya, rezim adalah sebuah istilah yang netral, walaupun istilah ini sering
juga digunakan dalam budaya populer dengan pengertian negatif atau menghina
sebagai rujukan kepada pemerintah yang dianggap menindas dan tidak demokratis.
Pertunjukan diawali dengan
senandung lagu Indonesia Pusaka oleh seorang perempuan yang menimang sapu lidi
dari belakang kerumunan penonton di kejauhan. Nadanya getir, bahkan mengundang
reaksi orang-orang yang menyebar diantara penonton. Mereka, orang-orang itu,
perlahan terpancing untuk turut melagukannya. Masih dengan kegetiran yang sama,
perlahan mereka bangkit, kemudian berkerumun di belakang Lisna Effendi,
perempuan itu.
Letupan-letupan emosi dimulai
ketika orang-orang itu mulai mengubur sapu lidi dengan tumpukan batako yang
banyak ada di sekitar panggung. Kemudian, ledakan pun terdengar. Perempuan itu
kembali bernyanyi, kali ini lebih merupakan senandung. Mengaduk-aduk setiap
pertarungan-pertarungan dan konflik yang mengada dalam sebuah wajan aluminium.
Ya, wajan itu tak lebih sebagai konstruksi, juga bangunan yang dibuat sebagai
panggung, tak lebih adalah konstruksi. Hanya konstruksi, ia tak berhasil
menjadi rumah!
Tiba-tiba perempuan itu
meringis. Ia berteriak! Seorang lelaki terlahir lahir dari rahimnya. Sementara
di belakangnya, lelaki lain telah bersiaga dengan sebilah pedang. Garang,
lelaki itu menusuk, mencabik setiap apa pun yang ada di sekitarnya.
Secara umum, apa yang
ditampilkan BET dalam Parade Teater se Bali 2011 tidaklah banyak mengalami
perubahan, kecuali sedikit tambal sulam di beberapa bagian, entah itu
penggunaan properti maupun babakan-babakan adegan dalam visualisasinya. Meski
masih “setia” menggunakan telur, tali, dan pedang sebagai media bermainnya
dalam Rezim, kali ini Nanoq juga menggunakan kelapa-kelapa kering yang
digantung dan lebih menyerupai kepala manusia, (yang barangkali) sebagai simbol
manusia dan kemanusiaan yang berada dalam wilayah ketertindasan. Tidak hanya
itu, Nanoq juga menggunakan lelakut (orang-orangan sawah –pen), beras, jagung,
dan air dalam pertunjukannya kali ini.
Mencekam
Suasana sunyi yang mencekam
memang mendominasi pertunjukan malam itu. Salah seorang penonton, Sista Nirmala
dalam sebuah komentarnya di facebook mengaku merinding menyaksikan Rezim yang
dimainkan Lisna Effendi dan warga dusun senja. Selain itu, kebosanan yang
berkepanjangan juga melanda para penonton pada adegan-adegan awal.
Menurut Nanoq, ia memang
sengaja menciptakan kebosanan sebagai representasi Rezim. Itu juga merupakan
letupan emosi yang memang diinginkannya sebagai sutradara, selain ketercekaman,
kesunyian, amarah, termasuk juga rasa paling purba dalam kehidupan manusia;
cinta.
Tumpukan-tumpukan rasa inilah
yang sebenarnya ada dalam sebuah rezim, mengada di kehidupan dan keseharian
kita sebagai seorang manusia dalam sebuah peradaban. Yang membuat perbedaan
hanyalah, bagian rasa yang mana yang akan mendominasi ketika bernaung di
bawahnya, hanya kita yang mampu memosisikannya. Semuanya dikembalikan kepada
penonton, kepada kita semua. Apakah yang akan kita pilih ketika sebuah bangunan
tak lagi menjadi rumah?
Lagu Padamu Negeri terdengar.
Orang-orang bergegas, berusaha merobohkan bangunan. Lampu padam. Itu saja!
0 komentar:
Posting Komentar