Banyak yang percaya,
spiritualitas merupakan wilayah yang sungguh absurd. Sebuah ruang tak bernama,
dimana didalamnya terjadi hubungan dan pertalian yang erat antara keterbatasan
manusia dengan kemahakuasaan Sang Pencipta. Melalui Wirama Totaka, Ayu Laksmi,
penyanyi yang mengabdikan dirinya dengan menembangkan lagu-lagu dengan spirit
pengagungan terhadap Tuhan, berusaha menjelajah ruang itu.
“Berbagai cara bisa dilakukan sebagai
wujud bhakti dan persembahan kepada Tuhan. Kalau saya, lebih memilih musik
kontemporer sebagai wahana kontemplasi dengan menyerap spirit yang menjadi
kearifan lokal, budaya dan tradisi. Ya, ini tak lepas dari basic saya sebagai
penyanyi,” tuturnya usai pentas bersama Balawan and Batuan Ethnic Fusion, Rabu
(7/7) malam, di Gedung Ksirarnawa, Art Center.
Lirik Wirama Totaka yang
diambil dari Kekawin Arjuna Wiwaha menyiratkan pentingnya menciptakan jeda
dalam kehidupan dalam keheningan dan kekosongan, melalui yoga dan semadi. Dalam
kekosongan itulah, seseorang baru mampu melihat segala hal dengan jernih.
Disadari atau tidak, manusia hanya bisa saling menyalahkan, tapi Tuhan akan
selalu membenarkan apa yang seharusnya benar. Begitulah sifat Tuhan yang tidak
pernah bisa dibayangkan.
“Seperti yang tersirat dalam
Wirama Totaka, saya pun meyakini jika Tuhan hanya akan terlihat dalam jiwa
orang-orang yang melaksanakan yoga dan semadi. Tentu ini bukan hanya sebatas
pengertian harafiah saja. Lebih dari itu, yang terpenting adalah mengosongkan
diri. Ini serupa (bayangan) bulan yang terpantul dan tercermin dalam air jernih
dalam tempayan,” ucapnya. Lalu, sudahkah Ayu mencapai titik itu? “Belum,
hahaaa….,” tambahnya disertai tawa ringan.
Diiringi Balawan and Batuan
Ethnic Fusion, Wirama Totaka cukup berhasil menghadirkan energi yang tak biasa.
Sinergi antara keduanya sangatlah jarang ditemukan, mengingat keduanya
sama-sama menjadi ikon untuk musik kontemporer bernafaskan seni budaya. Namun
demikian, ketika dipertemukan, mereka sama-sama memahami dan mendukung
menciptakan harmoni. Dapatkah audience memahami makna dan nilai yang terkandung
dalam Wirama Totaka mengingat liriknya masih menggunakan Bahasa Kawi?
Bagi Ayu, musik merupakan
bahasa yang paling universal. Keinginan untuk menyampaikan sesuatu, bahkan
sesuatu yang paling pribadi yang bersemayam dalam dasar hati pun bisa terwakili
dengan susunan bunyi. Lalu, eksplorasi tubuh bisa digunakan mendukungnya.
Kondisi ini tercermin pula dengan keberadaan penari Nyoman Sura yang semakin
menyempurnakan penampilan malam itu, dengan berusaha menginterprestasikan
Wirama Totaka.
“Musik dan bahasa tubuh mampu
menyusup keheningan jiwa, menyapa setiap ruh yang mengada dalam diri kita. Tak
hanya sekedar berkata-kata,” tegasnya, yang saat itu juga menyanyikan Tri Kaya
Parisudha karyanya sendiri, yang menjadi salah satu lagu dalam Album Nyanyian
Dharma.
Beberapa penonton yang ditemui
mengaku tidak mengerti apa yang disampaikan Ayu Laksmi dalam lirik lagunya.
Namun demikian, sebagian besar dari mereka berhasil menangkap dan memahami
esensi lagu tersebut. Apalagi mengawali pementasannya, ia menggiring penonton
untuk memejamkan mata, mendengarkan dan meresapi dalam hening, sembari berkisah
tentang inti Wirama Totaka.
“Kalau ditanyakan artinya,
jujur saya gak ngerti. Itu Bahasa Kawi, bahasa yang sangat sulit. Tapi dalam
performance-nya, sedikit tidaknya saya paham jika lagu itu mengandung
pesan-pesan kebajikan. Saya hanya bisa merasakannya, dan itu jauh lebih baik
dari sekedar memahami arti liriknya saja. Tadi itu adalah pertunjukan yang luar
biasa. Ayu Laksmi telah menjelajah wilayah spiritualitas,” demikian Anggreni,
salah seorang penonton.
0 komentar:
Posting Komentar