Beranjak dewasa, Ladrina mulai serius bermusik bersama enam perempuan kreatif The Jumping Balloons di Purwekerto di usia 17 tahun. Dengan mengusung konsep indepop vintage, ia berhasil mencuri perhatian publik dengan karakternya yang riang, bahkan terkesan centil.
Bersama The Jumping Balloons,
Ladrina mulai menciptakan lagu. Keterbatasannya memainkan alat musik tak
menjadi hambatan bagi mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto ini untuk berkarya. Sebagian besar karyanya tercipta
secara spontan, dan mengalir. Ia membiarkan seluruhnya berjalan apa adanya
sebagai bentuk penghormatan atas budaya proses, melebur dalam maha seni
kehidupan.
Berbagai peristiwa ditangkap
dan diterjemahkan Ladrina dalam karya-karyanya: tentang mitos sore hari,
tentang putri, tentang cinta, tentang karya, tentang hidup. Ketertarikan dan
kemampuannya menulis memudahkan Ladrina menciptakan syair lagu yang kuat dan
sederhana. Ia menjelajah keluasan kata dalam penciptaan lirik sehingga
karya-karyanya lebih sublim, menjadi milik siapa saja.
Penjelajahan kreatif bermusik
dilakukan Ladrina saat membentuk Innerva di tahun 2008. Bersama salah seorang
temannya, Kirey, yang kuliah di ISI Yogjakarta, ia mulai memainkan musik
bernafaskan ethnic-electrik-shoegaze, aliran musik yang sangat disukainya.
Jarak Purwokerto-Yogjakarta tidaklah menghalangi mereka dalam peleburan kreativitas.
Beberapa karya pun terekam dan
mulai mengisi ruang-ruang dengar publik. Single pertama Innerva berjudul Child
& Evil menjadi pintu awal pertemuannya dengan Lutphi yang kemudian bekerja
sama dengannya di Something el. Kembali ia membuktikan bahwa jarak bukanlah
dinding pembatas yang menyekat peleburan kreativitas.
Pertemuan Ladrina dan Lutphi
yang dimediasi jejaring sosial seperti facebook dan yahoo massanger akhinya
menumbuhkan kesepakatan kreatif untuk bekerja sama dalam musik. Meski awalnya
Lutphi bersikeras untuk menggarap solo album untuk Ladrina, toh akhirnya ia
sepakat membentuk Something El dengan format simple acoustic.
Kehidupan senantiasa mengalir,
bergerak tanpa rencana. Berkreativitas di tiga band di tiga kota yang berbeda:
The Jumping Balloons (Purwokerto), Innerva (Yogjakarta-Purwokerto), dan
Something El (Jakarta-Purwokerto), sempat menumbuhkan pesimisme dalam diri
Ladrina Bagan untuk menjalani proses kreatifnya.
Bersama Lutphi di Something
El, Ladrina Bagan belajar berproses lebih sistematis dan terencana,
bersama-sama melebur ide kreatif dan kemampuan maksimum menjadi sebuah racikan
dalam takaran dinamik yang tepat dan segar.
Melalui rilisan perdana
Something El berjudul Tragically Romantic yang bermaterikan sebelas lagu dengan
komposisi dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, Ladrina mencoba menapak dan
berpetualang di samudra show-biz yang luas.
Ekspresif
Sebagai seorang yang kreatif
dan ekspresif, keinginan Ladrina untuk melakukan eksplorasi seni tidaklah bisa
dibendung. Di tahun 2010, di sela-sela persiapan launching album Something el,
tawaran menggarap album solo diraih perempuan berdarah Dayak-Jawa ini dengan
mengutamakan kebebasan berekspresi, sekaligus menawarkan kebebasan publik untuk
memilih dan menikmati setiap karyanya.
Seperti penjelajahan ruh yang
tak berbatas, Ladrina –yang menempatkan Adele, Inggrid Michaelson, Corrine
Bailey Rae, dan Ayu Laksmi sebagai sosok inspiratif– menggali musikalitas
dengan menyajikan delapan lagu yang akan menjadi materi solo albumnya. Dengan
mengabaikan “kesakralan” sebuah genre, ia mencoba menjajal kemampuannya dengan
menyanyikan lagu-lagu pop, blues, gloomy, acoustic, metal, dan lain-lain dalam
album tanpa identitas ini.
Ladrina Bagan, hidup demikian
sederhana dan indah. Letupan-letupan emosi dan imajinasinya tidak hanya
dituangkan ke dalam musik, melainkan juga lewat sastra, lukisan, film pendek,
hingga fotografi, yang dikreasikan dengan artistik dan kreatif. Kehidupan
Ladrina yang disandarkan pada aktivitas berkesenian telah mendekatkan dirinya
kepada apa saja. Sensitivitas dan kepedulian terhadap kemanusiaan pun
melabuhkannya menjadi Manager Kasus HIV, menjadi pendamping dan konselor bagi
para penderita HIV/AIDS.
Kesenian memang senantiasa
mengajarkan kesederhanaan dan kerendahan hati. Dengan kerendahan hati pula, di
usia yang relatif muda, ia berusaha mengembalikan setiap apa pun yang
didapatkannya dari kehidupan, bagi kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar