Mantra suci “Om”, menggema
merasuk ke kedalaman. Dalam mantra itulah sesungguhnya, cinta telah hadir dan
mengalir, memasuki segala ruang di dalam kesemestaan, di dalam dan di luar diri
kita.
Riuh penonton yang memadati
areal Bentara Budaya Bali, Minggu (11/3) mendadak senyap ketika mantra “Om”
menggema. Sayup saja, tapi nampaknya berhasil membuat sunyi seketika. Lalu
pekik terdengar di kejauhan, di suatu arah yang entah. Di tengah kesenyapan
itu, taiko –alat musik khas Jepang dipukul bertalu-talu, membentuk irama yang
ritmis, berpadu dengan perkusi dan drum.
Demikianlah Satukan Cinta untuk Dunia yang digelar oleh Bali Artist Association dalam rangka mengenang 1 tahun tsunami Jepang bermula. Kidung Maria mengalir, lalu dilanjutkan dengan lagu Om Mani Padme Hum, Breathing, Maha Asa, Wirama Totaka, Furusato, dan Reinkarnasi. Selain Furusato, seluruhnya adalah karya Ayu Laksmi, seniman asal Singaraja yang dikenal sebagai pelantun lagu-lagu yang menyuarakan cinta kasih dan keteduhan jiwa.
Satukan Cinta untuk Dunia yang
digagas Ayu Laksmi dan didukung oleh band Svara Semesta, Ketut Riwin, Rio
Sidik, dan Helga Sedli (musisi), Cok Sawitri (penyair), Nyoman Sura, Jasmine
Okubo, Ana Anandi (penari), Komunitas Teater Bali, hingga Lembaga Pendidikan
Nihon-go Honshuu Jugyoukou dan Puri Agung Dharma Giri Utama, merupakan sebuah
komposisi yang menggabungkan unsur musik, teater, tarian, dan sastra dalam satu
pertunjukan artistik kreatif. Maka jadilah ia sebuah sajian kolosal menarik
penuh makna, menggabungkan budaya Bali-Jepang, yang diikat dalam konsep Panca
Maha Bhuta, 5 unsur yang membentuk kesemestaan: tanah, air, angin, api, dan
akasa (kehampaan).
Banyak yang percaya, diri
manusia memiliki unsur yang sama dengan alam semesta. Maka, memahami dan
mencintai kesemestaan adalah upaya untuk memahami, mencintai dan menghargai,
jauh di kedalaman diri. “Acara ini secara khusus memang didedikasikan untuk
mengenang 1 tahun tsunami Jepang. Namun dalam skala yang lebih luas, kami ingin
menebar cinta kasih ke seluruh penjuru bumi melalui persembahan karya seni,”
jelas Laksmi.
Ia percaya, ketika cinta telah
mengada di dalam diri, praktis akan memberikan energi yang positif bagi apa dan
siapa saja. Karena itulah, menebar cinta yang disimbolkan dengan mengirim surat
melalui 5 unsur pembentuk kesemestaan, dalam kesejatiannya, adalah menanam
cinta bagi diri sendiri, bagi seluruh orang yang hadir dalam acara tersebut.
Dan benarlah, apa yang
dipresentasikan dalam pertunjukan tersebut merupakan sebuah simbolisasi cinta
bagi siapa saja. Barangkali tanpa disadari, acara tersebut sesungguhnya
dibangun oleh seluruh orang yang hadir. Di awal acara, mereka telah menuliskan
pesan atau keinginan di sebuah lembar kertas. Pesan cinta di lembar-lembar
kertas itulah yang kemudian dihantar secara teatrikal melalui tanah, air,
angin, api, dan angkasa oleh Komunitas Teater Bali. Seluruhnya adalah elemen,
seniman-seniman yang tampil lebih berfungsi sebagai pengikat alur pertunjukan.
Selain pertunjukan yang
disuguhkan di panggung utama, Satukan Cinta untuk Dunia dilengkapi juga dengan
performing art oleh Komunitas Teater Bali. Mereka mencoba bereaksi terhadap
ruang, waktu, suara, dan cahaya dengan gerak serta interaksi dialogis. Art
Director, I Gusti Dibal Ranuh, berupaya mengisi “kekosongan” dengan merespon
seluruh unsur pembentuk kesemestaan. Tubuh-tubuh bergerak dan baris puisi pun
dilafalkan serupa mantra. Tak hanya itu, pembacaan puisi karya Cok Sawitri
-yang saat itu menjadi narator, oleh anak-anak dari Lembaga Pendidikan Nihon-go
Honshuu Jugyoukou dan Puri Agung Dharma Giri Utama memperkaya pertunjukan,
menjadikannya sebuah suguhan yang kaya, utuh, dan padu.
0 komentar:
Posting Komentar