Musik dalam kesejatiannya hadir dan mengalir sebagai
cermin kebebasan nurani. Serupa doa yang lahir dari keheningan interaksi
dialogis terhadap apa saja, ia menjadi bentuk persembahan dan pengagungan.
Demikian kesadaran yang menyusup keheningan jiwa Ayu Laksmi. Lewat lagu-lagunya
yang terangkum dalam album Svara Semesta, ia memosisikan dirinya sebagai objek
atas kompleksitas pergulatan kehidupan manusia.
Album Svara Semesta yang dilaunching di Bentara Budaya
Jakarta bermaterikan 11 lagu, dimana sebagian besar merupakan karya yang lahir
dari kegelisahannya sendiri. Inilah jawaban atas “menghilangnya” Laksmi dari
dunia industri musik Indonesia selama hampir 18 tahun, sesaat setelah album
pertamanya Istana yang Hilang dilempar dan tak laku di pasaran.
Kembalinya Laksmi dalam dunia hiburan tentu menjadi
sesuatu yang menarik. Kini tak mungkin lagi menemukan dirinya dalam balutan
kostum serba hitam dalam karakter seorang rocker. Kehidupan telah merubahnya
menjadi sesosok yang anggun, dengan gerai busana putih dan bertelanjang kaki;
cermin keinginannya menyatu dengan bumi.
Seperti diakuinya, Laksmi seolah menemukan titik balik
karir bernyanyi di tahun 2004. Ia mulai menyadari bahwa kearifan lokal yang
dikandung tanah leluhurnya (Bali) begitu kaya dan merupakan sumber inspirasi
yang demikian besar. Kidung sakral sebagai warisan leluhur akhirnya dipilih
dalam balutan world music. Budayawan Taufiq Rahzen melihat hal ini sebagai
keinginan menghadirkan kembali sesuatu yang “lama” menjadi “baru”. Pernyataan
ini berdasar setelah mendengar komposisi Wirama Totaka berbahasa Jawa Kuno yang
dikutip dari Kakawin Arjuna Wiwaha berusia ratusan tahun: lantunan doa Arjuna
kepada Siva, yang dengan berani disuguhkan Laksmi secara kontemporer.
Svara Semesta bisa diibaratkan sebuah cermin yang
memantulkan gambaran perjalanan hidup Laskmi, yang memiliki keterkaitan satu
sama lain. Ia hadir sebagai penyampai pesan positif, tanpa keinginan dan kesan
menggurui.
Ayu Laksmi adalah seseorang penuh impian. Hal ini bisa
dilihat dalam lirik lagu Maha Asa ciptaannya yang berbahasa Jawa Kuno, tentang
mimpi yang menjadi nyata:
duk rika ingsun ajerih manyupena
rasayang tan sida ikang manadi katon
temangkin ingsun rumasuk manadi indera sariranta
temangkin sun masuwak ri atmanta
Seorang pemimpi yang berhasil adalah bilamana ia mampu
menerjemahkan secara kreatif dan inovatif sebuah impian menjadi sesuatu yang
nyata. Karena pada prinsipnya semua orang adalah pemimpi tak terduga, maka
disinilah dibutuhkan semacam “aturan” yang mengarahkan mimpi itu menjadi energi
positif, tanpa menimbulkan ketersinggungan dan pergesekan di dalam kehidupan
sosial.
Dalam hal ini, Tri Kaya Parisudha yang merupakan kearifan
lokal Bali menjadi benteng: sebuah konstruksi yang kukuh dan tertutup sebagai
pertahanan. Laksmi pun berusaha memaparkannya dengan lebih gamblang dalam
lagunya dengan judul yang sama.
Seperti masyarakat Bali lainnya, Laksmi juga meyakini
pengembaraan roh sebelum reinkarnasi: kehidupan setelah kematian yang ditandai
dengan kelahiran kembali sebagai “sesuatu” dengan hitam putih perilaku yang
melekat dalam kehidupan sebelumnya. Dibantu Dayu Ani untuk penulisan lirik,
lagu Reinkarnasi dibangun dari diksi sederhana namun membentangkan keluasan
makna, kemudian diterjemahkan secara musikalitas dalam dimensi perayaan.
Pejalan jauh
Nominator pemeran utama wanita terbaik FFI 2008 lewat
film Under the Tree arahan Garin Nugroho ini bisa dikatakan sebagai pejalan
jauh. Ia mengembara, melakukan penjelajahan hidup dengan riang getir yang
menyertainya. Di suatu titik, ia merindukan sosok Ibu sebagai rumah segala doa
dan kasih sayang. Sumber telaga jernih yang tak pernah meminta, tetapi
menyajikan begitu saja hamparan cinta yang tak berbatas. Ini bisa disimak dalam
penggalan liriknya; Ibu kau malaikat hidupku, menjaga sejak langkah kecilku.
Lagu dengan latar belakang yang sama juga bisa ditemukan
dalam Duh Hyang Ratih. Perbedaan yang mengada diantara keduanya dapat
dibenturkan dalam sebuah persamaan: kerinduan akan keindahan, kasih sayang,
cinta, hingga keikhlasan memberi tanpa pamrih; perilaku yang sudah menjadi
sangat langka dalam dimensi sosial masyarakat kekinian.
Saat ini, kehidupan bergerak cepat dan keras, serta
mengikis kesadaran seseorang sebagai bagian kehidupan sosial. Laksmi melihat
fenomena tersebut sebagai seseorang yang hidup tanpa nafas. Seluruhnya berpacu
dengan waktu dalam suatu proses “menjadi” hingga mengabaikan arti kebersamaan
yang mesti dijaga dan terjaga.
Dalam realitasnya, benturan-benturan yang terjadi dalam
proses untuk “menjadi” ini tidaklah menghadirkan kebahagiaan hakiki. “Mari jeda
sejenak. Berikan nafas pada kehidupan. Seluruhnya adalah nafas. Hanya nafas….”
Demikian renungan Laksmi yang tercetak pada booklet Svara Semesta pada lagu
Breathing. Petikan gitar Riwin Tropical Transit dan alunan sendu flute Bang
Saat membuat lagu ini semakin menyiratkan keprihatinan sebagai sebuah kisah
yang menyesap senyap.
Begitu kerasnya kehidupan yang tercipta akibat
kompleksitas pemikiran. Bahkan dalam I Am Talking to My Self, Laksmi seolah
mengajak kembali setiap orang menyapa dan berbincang dengan ruhnya sendiri. Ia
menyajikan lagu ini bukan dalam bahasa yang ada di permukaan bumi, melainkan
ekspresi yang hadir dalam proses kreatifnya. Walaupun akhirnya terdengar
seperti bahasa, apa yang ia sajikan adalah kumpulan bunyi yang tak mempunyai
arti. Bahkan, sebagian orang yang mendengar mengatakan menjadi serupa mantra.
Berbagai kemungkinan yang ditawarkan dalam lagu ini bisa
jadi merupakan pembuktian Laksmi atas kekuatan bunyi yang mengundang multi
tafsir bagi para pendengar. Namun jika ditelisik lewat musikalitas yang
ditawarkan, setidaknya dapat menggiring pemikiran bahwa terjadi pergulatan yang
tak biasa dalam diri Laksmi untuk mencapai klimaks sebagai dasar pijak dalam
langkah. Pergulatan batin dalam semesta kecil (hati, tubuh) ini juga
mencerminkan pergulatan yang terjadi di luaran yang tengah berlangsung, hingga
bermuara pada sikap kebersamaan dalam keberagaman, seperti yang digambarkan
lagu Tat Twam Asi karya Agung Cahyadi, sahabatnya, serta Brothers & Sisters
– Adi & Ida.
Diantara seluruh lagu yang diciptakan dan dinyanyikannya
tersebut, puncak renungan spiritualitas Laksmi berada pada lagu Here, Now, and
Forever More – Om Mani Padme Hum. Om Mani Padme Hum yang merupakan Budhist
Mantra ini sendiri (konon) mampu memekarkan padma hati bagi siapa pun yang
melafalkannya.
Dalam album Svara Semesta yang terbagi menjadi dua ruang
yakni ruang budaya dan teknologi serta ruang manusia ini, Laksmi total berkarya
mandiri. Ia menjadi produser, menulis hampir seluruh lagu, bahkan menciptakan
komposisi musik dasar di awal proses penciptaan dengan segala keterbatasan
musikal yang dimiliknya. Ia juga menunjukkan berbagai gaya olah vocal; kadang
terdengar serak-serak basah dengan wilayah vocal sangat rendah yang tak lazim
dimiliki perempuan, kadang terdengar halus melengking dengan cengkok
kontemporer khas dirinya.
Dikawal Eko Wicaksono sebagai music director dan
arranger, ia juga didukung arranger lainnya yakni Dewa Budjana, Peter Brambl
dan Robert Webber, serta melibatkan banyak musisi diantaranya Dewa Budjana,
Riwin, Balawan, Koko Harsoe, Erick Sondhy, Roby Zoel, Bang Saat, dan Nyanyian
Dharma. Laksmi menyajikan lagu-lagunya dalam lima bahasa, terdiri dari Bahasa
Sansekerta, Kawi, Bali, Indonesia, dan Inggris, dimana sebagian besar karyanya
berlandaskan konsep Tri Hita Karana, bercerita tentang hubungan cinta kasih
antara manusia dengan manusia, manusia dengan semesta, manusia dengan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar