“Kini mimpi itu menjadi nyata.
Yang lebih mencengangkan, mereka menyertakan maha karya mereka dalam album ini.
Saya benar-benar bersyukur. Dua karya itu menjadi penggambaran serta perwujudan
Maha Asa. Jadi sekarang bisa saya katakan, kita bisa bermimpi apa pun yang
ingin kita impikan, dan kita bisa bermimpi menjadi apa pun yang kita inginkan,”
kata Laksmi saat soft launching albumnya yang bertajuk Svara Semesta, Sabtu
(25/9) malam di kediaman keluarga besarnya di Singaraja.
Bagi penyanyi kelahiran
Singaraja, 25 November 1967 tersebut, musik bukanlah sekedar media penghibur.
Ia menempatkannya pada posisi yang agung sebagai persembahan melalui daya
penciptaan dan keikhlasan menyerap kekayaan nilai yang terkandung dalam semesta
kehidupan.
Kreativitas dan daya cipta
Laksmi yang mengambil elemen budaya dan tradisi nusantara yang kemudian
diterjemahkannya lewat Svara Semesta menjadi bagian dari doanya. Kidung sebagai
warisan leluhur dan musik populer pun dipilih sebagai wahana kontemplasi. Di
dalam karyanya, ia mencoba merefleksikan hidup dan kehidupan, dengan muara
akhir penyerahan diri kepada Tuhan. Maka dapatlah diterima jika di dalamnya
terjadi benturan demi benturan. Sebuah kekuatan sekaligus kelemahan, cinta
kasih sekaligus kebencian, kesenangan sekaligus kesedihan. Musiknya kadang
rancak, kemudian di satu titik menjadi syahdu dan nyaris senyap. Seluruhnya
berbaur, menyatu padu, hingga mencipta harmoni. “Apa yang saya persembahkan
dalam album merupakan gabungan berbagai perasaan dengan kekosongan batiniah
yang menjadi konsep dasar seluruh proses penciptaan,” tegasnya.
Betapa sulitnya mendobrak
musik pop dan melayu yang kini mendominasi blantika musik di tanah air disadari
betul oleh Laksmi. Kendati demikian, kondisi tersebut tidaklah membuat dirinya
berkecil hati. Besarnya optimisme Laksmi atas lagu dan musik yang ditawarkannya
tentu sangat beralasan, apalagi saat ini panggung-panggung seni budaya semakin
diminati masyarakat luas.
“Seperti yang sudah saya
tegaskan, yang utama adalah Svara Semesta didedikasikan sebagai suatu
persembahan. Selain itu, dukungan yang tak pernah putus diberikan, baik dari
keluarga, teman-teman, hingga masyarakat yang pernah menyaksikan performance
saya menjadi kekuatan yang mendorong untuk mewujudkan album ini. Dan saya
yakin, setiap apa pun yang mengisi semesta, termasuk world music yang saya
tampilkan, memiliki tempat dan jalannya masing-masing,” ucapnya.
Dua ruang
Svara Semesta, jelasnya,
dibagi menjadi dua ruang, yakni ruang teknologi dan ruang manusia. Ruang
teknologi didominasi cerita tentang pengagungan Tuhan dan semesta dengan gaya
ungkap kidung kontemporer dalam Bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, dan Bali yang
terinspirasi dari kekawin sebagai warisan budaya leluhur yang sarat filosofi.
Untuk menyeimbangkan tema dan bahasa yang terkesan berat, ia sendiri menyajikan
komposisi musik dalam ruang tersebut dalam balutan nu sound technology.
“Sementara ruang manusia lebih
banyak mengisahkan tentang lahir, hidup dan mati, yang dimainkan
manusia-manusia sesungguhnya. Saya percaya, kepekaan rasa manusia tidaklah
dapat tergantikan meskipun teknologi telah cukup berhasil memainkan perannya
dalam dunia modern. Dalam ruang ini, saya berbagi dengan para sahabat,
musisi-musisi yang berempati terhadap kegelisahan saya untuk berkarya,” jelas
Laksmi yang pernah meluncurkan album Istana yang Hilang di tahun 1991 saat
masih mengusung aliran classic rock.
Dalam setiap pertunjukannya,
Laksmi identik dengan teratai dan dupa yang memunculkan nuansa magis. Karakter
ini sangat jauh dari kesan garang yang sebelumnya melekat pada dirinya ketika
menjadi lady rocker di tahun 1980-an. Kini ia “terlahir” kembali menjadi dewi
dalam balutan busana putih berpadu poleng (motif hitam putih), dengan langkah
anggun dan lantunan kidung kontemporer khasnya sendiri yang diterjemahkan dari
berbagai ajaran universal.
Pilihan Laksmi untuk lahir
kembali tentu bukan keputusan yang mudah. Ia harus menanggalkan seluruhnya,
meninggalkan dunia yang justru telah membesarkan namanya. “Bali selalu
memanggil saya untuk kembali. Karena itu saya berusaha menjalani sesuatu apa
adanya. Hidup itu mengalir sehingga saya memilih mengalir di dalamnya.
Menjalani apa yang memang menjadi bagian diri saya. Ya, saya juga memerlukan
jeda waktu. Kemudian saya mulai bergabung dengan beberapa musisi, seperti
bersama Tropical Transit dan Dewa Budjana dalam Nyanyian Dharma. Tapi kini,
saya sudah punya kendaraan sendiri, mengemudikannya sendiri, berupa album Svara
Semesta. Untuk lirik, saya banyak dibantu oleh para penulis hebat seperti Sugi
Lanus, Cok Sawitri, Adrian T. King, dan Robyn Cash,” ucapnya.
Sebagai seorang perempuan,
Laksmi termasuk perempuan yang tangguh. Kegagalan demi kegagalan serta riang
getir perjalanan hidupnya menjadi guru terbaik baginya. Ketangguhan Laksmi
tidaklah bisa dipisahkan dari Singaraja sebagai tanah kelahirannya.
Karakteristik masyarakat Singaraja yang keras, kompetitif, tangguh, dan budaya
tandingannya telah menyatu dalam dirinya, membentuk Laksmi menjadi pribadi yang
kuat dan pantang menyerah.
Ziarah
Bukanlah tanpa alasan jika
Laksmi memilih menggelar soft launching albumnya di rumah keluarga besarnya
sendiri. Langkah Kecil, Langkah Besar Berawal dari Rumah yang menjadi konsep
soft launching tersebut menjadi gambaran keinginan Laksmi untuk menziarahi masa
lalunya. Rumah merupakan awal kelahiran doa-doa sebelum menapak perjalanan
panjang kehidupan. Dengan demikian, dapatlah dipahami jika Laksmi menginginkan
setiap langkah yang dilakukannya disaksikan para leluhur, dan direstui keluarga
tercinta.
“Tak ada doa yang lebih mulia
selain doa dari keluarga, doa orang-orang yang dituakan. Doa-doa yang tanpa
henti mengaliri seluruh kujur tubuh saya. Rumah bagi saya merupakan pusat
dunia, pusat semesta kehidupan saya. Saya melibatkan seluruh keluarga, seperti
Ayu Weda, Ayu Partiwi, serta Arya Wirawan yang saya mohonkan sebagai MC,” ucap
Laksmi seraya menambahkan sengaja memilih menggelar acara tersebut bertepatan
dengan Hari Suci Sarasvati sebagai bentuk apresiasi terhadap anugerah
pengetahuan, seni, dan sastra.
Apa yang disampaikan Laksmi
merupakan bentuk penghormatannya terhadap sejarah panjang hidupnya, seluruh
keluarga, dan orang-orang yang memberi pengaruh dalam kehidupan serta karir
bermusiknya. Ia merindukan rumah setelah puluhan tahun malang-melintang dalam
dunia musik yang menjadi pilihan hidupnya. Kembali pulang dengan memohon doa,
dukungan, dan restu dipercaya Laksmi sebagai salah satu kekuatan yang akan
menyempurnakan persembahan melalui komposisi musiknya tersebut. Ia meyakini hal
itu, seperti juga keyakinannya bahwa sejatinya cinta yang dikirimkan melalui
doa yang dialamatkan kepadanya tidaklah pernah putus dan selalu menyertai
setiap perjalanannya.
“Saya juga sengaja
menghadirkan kuliner khas Singaraja seperti siobak dan blayag di sini sebagai
bentuk penghormatan penghormatan terhadap kekayaan lokal Singaraja. Saya hanya
ingin mengawali saja, melalui hal-hal kecil dan sederhana sesuai kemampuan
saya. Saya harapkan ke depan terdapat lebih banyak kantung budaya di Singaraja,
yang bisa muncul ke permukaan,” tukas Laksmi, yang juga dihadiri para seniman
dan budayawan, serta tokoh-tokoh Singaraja yang telah muncul ke permukaan.
Dalam soft launching tersebut,
Laksmi menembangkan delapan dari sebelas lagu yang terangkum dalam Svara
Semesta, yakni Maha Asa, Tri Kaya Parisudha, Ibu, Brothers and Sisters,
Breathing, Wirama Totaka, Om Mani Padme Hum, dan Reinkarnasi. Selain itu,
ekspresi estetika pertunjukan melibatkan Made Tegeh Okta dan Dayu Ani (tari
kontemporer), Sanggar Santhi Budaya (tari rejang), Cok Sawitri (bondres), dan
musisi muda berbakat dari berbagai daerah di nusantara. Sementara untuk
menerjemahkan musikalitas, delapan dari sebelas lagu yang terangkum dalam Svara
Semesta dipercayakan kepada Eko Wicaksono, seorang music director muda berbakat
yang berdomisili di Bali.
0 komentar:
Posting Komentar